Islamic
Banking
SEKILAS PERBANKAN SYARIAH DI
INDONESIA
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka
dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur
Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang
semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem
perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung
mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan
bagi sektor-sektor perekonomian nasional.Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.
Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.
Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.
“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.
CAMELS
Penilaian Tingkat Kesehatan
Bank
Penilaian tingkat kesehatan bank di
Indonesia sampai saat ini secara garis besar didasarkan pada faktor CAMEL
(Capital, Assets Quality, Management, Earning dan Liquidity). Seiring dengan
penerapan risk based supervision, penilaian tingkat kesehatan juga memerlukan
penyempurnaan. Saat ini BI tengah mempersiapkan penyempurnaan sistem penilaian
bank yang baru, yang memperhitungkan sensitivity to market risk atau risiko
pasar. Dengan demikian faktor-faktor yang diperhitungkan dalam system baru ini
nantinya adalah CAMEL. Kelima faktor tersebut memang merupakan faktor
yang menentukan kondisi suatu bank. Apabila suatu bank mengalami permasalahan
pada salah satu faktor tersebut (apalagi apabila suatu bank mengalami
permasalahan yang menyangkut lebih dari satu faktor tersebut), maka bank
tersebut akan mengalami kesulitan.
Sebagai contoh, suatu bank yang
mengalami masalah likuiditas (meskipun bank tersebut modalnya cukup, selalu
untung, dikelola dengan baik, kualitas aktiva produktifnya baik) maka apabila
permasalahan tersebut tidak segera dapat diatasi maka dapat dipastikan bank
tersebut akan menjadi tidak sehat. Pada waktu terjadi krisis perbankan di
Indonesia sebetulnya tidak semua bank dalam kondisi tidak sehat, tetapi karena
terjadi rush dan mengalami kesulitan likuiditas, maka sejumlah bank yang
sebenarnya sehat menjadi tidak sehat.
Meskipun secara umum faktor CAMEL
relevan dipergunakan untuk semua bank, tetapi bobot masing-masing faktor akan
berbeda untuk masing-masing jenis bank. Dengan dasar ini, maka penggunaan
factor CAMEL dalam penilaian tingkat kesehatan dibedakan antara bank umum dan
BPR. Bobot masing-masing faktor CAMEL untuk bank umum dan BPR ditetapkan
sebagai berikut :
Tabel Bobot CAMEL
No.
|
Faktor CAMEL
|
Bobot
|
|
Bank Umum
|
BPR
|
||
1.
2.
3.
4.
5.
|
Permodalan
Kualitas Aktiva Produktif
Kualitas Manajemen
Rentabilitas
Likuiditas
|
25%
30%
25%
10%
10%
|
30%
30%
20%
10%
10%
|
Perbedaan penilaian tingkat
kesehatan antara bank umum dan BPR hanya pada bobot masing-masing faktor CAMEL.
Pelaksanaan penilaian selanjutnya dilakukan sama tanpa ada pembedaan antara
bank umum dan BPR. Dalam uraian berikut, yang dimaksud dengan penilaian bank
adalah penilaian bank umum dan BPR.
Dalam melakukan penilaian atas
tingkat kesehatan bank pada dasarnya dilakukan dengan pendekatan kualitatif
atas berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu
bank. Pendekatan tersebut dilakukan dengan menilai faktor-faktor permodalan,
kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas.
Pada tahap awal penilaian tingkat
kesehatan suatu bank dilakukan dengan melakukan kuantifikasi atas komponen dari
masing-masing factor tersebut. Faktor dan komponen tersebut selanjutnya diberi
suatu bobot sesuai dengan besarnya pengaruh terhadap kesehatan suatu bank.
Selanjutnya, penilaian faktor dan
komponen dilakukan dengan system kredit yang dinyatakan dalam nilai kredit
antara 0 sampai 100. Hasil penilaian atas dasar bobot dan nilai kredit
selanjutnya dikurangi dengan nilai kredit atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan
yang lain yang sanksinya dikaitkan dengan tingkat kesehatan bank.
Berdasarkan kuantifikasi atas
komponen-komponen sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya masih dievaluasi
lagi dengan memperhatikan informasi dan aspek-aspek lain yang secara materiil
dapat berpengaruh terhadap perkembangan masing-masing faktor. Pada akhirnya,
akan diperoleh suatu angka yang dapat menentukan predikat tingkat kesehatan
bank, yaitu Sehat, Cukup Sehat, Kurang Sehat dan Tidak Sehat.
Berikut ini penjelasan metode CAMEL
:
1. Capital
Kekurangan modal merupakan gejala
umum yang dialami bank-bank di negara-negara berkembang. Kekurangan modal
tersebut dapat bersumber dari dua hal, yang pertama adalah karena modal yang
jumlahnya kecil, yang kedua adalah kualitas modalnya yang buruk. Dengan
demikian, pengawas bank harus yakin bahwa bank harus mempunyai modal yang
cukup, baik jumlah maupun kualitasnya. Selain itu, para pemegang saham maupun
pengurus bank harus benar-benar bertanggung jawab atas modal yang sudah
ditanamkan.
Berapa modal yang cukup tersebut?
Pada saat ini persyaratan untuk mendirikan bank baru memerlukan modal disetor
sebesar Rp. 3 trilyun. Namun bank-bank yang saat ketentuan tersebut
diberlakukan sudah berdiri jumlah modalnya mungkin kurang dari jumlah
tersebut. Pengertian kecukupan modal tersebut tidak hanya dihitung dari jumlah
nominalnya, tetapi juga dari rasio kecukupan modal, atau yang sering disebut
sebagai Capital Adequacy Ratio (CAR). Rasio tersebut merupakan perbandingan
antara jumlah modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Pada saat
ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku, CAR suatu bank sekurang-kurangnya
sebesar 8%.
2. Assets Quality
Dalam kondisi normal sebagian besar
aktiva suatu bank terdiri dari kredit dan aktiva lain yang dapat menghasilkan
atau menjadi sumber pendapatan bagi bank, sehingga jenis aktiva tersebut sering
disebut sebagai aktiva produktif. Dengan kata lain, aktiva produktif adalah
penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk
pembiayaan, piutang, surat berharga, penempatan, penyertaan modal, penyertaan
modal sementara, komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif.
Di dalam menganalisis suatu bank pada umumnya perhatian difokuskan pada
kecukupan modal bank karena masalah solvensi memang penting. Namun demikian,
menganalisis kualitas aktiva produktif secara cermat tidaklah kalah pentingnya.
Kualitas aktiva produktif bank yang sangat jelek secara implisit akan menghapus
modal bank. Walaupun secara riil bank memiliki modal yang cukup besar, apabila
kualitas aktiva produktifnya sangat buruk dapat saja kondisi modalnya menjadi
buruk pula. Hal ini antara lain terkait dengan berbagai permasalahan seperti
pembentukan cadangan, penilaian asset, pemberian pinjaman kepada pihak terkait,
dan sebagainya. Penilaian terhadap kualitas aktiva produktif di dalam ketentuan
perbankan di Indonesia didasarkan pada dua rasio yaitu:
1)
Rasio Aktiva Produktif Diklasifikasikan terhadap Aktiva
Produktif (KAP 1). Aktiva Produktif
Diklasifikasikan menjadi Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Rumusnya
adalah :
Penilaian rasio KAP dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
- Untuk rasio sebesar 15,5 % atau lebih diberi nilai
kredit 0 dan
- Untuk setiap penurunan 0,15% mulai dari 15,49% nilai
kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
2)
Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif terhadap Aktiva
Produktif yang diklasifikasikan (KAP
2). Rumusnya adalah :
Penilaian rasio KAP untuk
perhitungan PPAP dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut untuk rasio 0 %
diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap kenaikan 1 % dari 0 % nilai kredit
ditambah 1 dengan maksimum 100.
3. Management
Manajemen atau pengelolaan suatu
bank akan menentukan sehat tidaknya suatu bank. Mengingat hal tersebut, maka
pengelolaan suatu manajemen sebuah bank mendapatkan perhatian yang besar dalam
penilaian tingkat kesehatan suatu bank diharapkan dapat menciptakan dan
memelihara kesehatannya.
Penilaian faktor manajemen dalam
penilaian tingkat kesehatan bank umum dilakukan dengan melakukan evaluasi
terhadap pengelolaan terhadap bank yang bersangkutan. Penilaian tersebut
dilakukan dengan mempergunakan sekitar seratus kuesioner yang dikelompokkan
dalam dua kelompok besar yaitu kelompok manajemen umum dan kuesioner manajemen
risiko. Kuesioner kelompok manajemen umum selanjutnya dibagi ke dalam sub
kelompok pertanyaan yang berkaitan dengan strategi, struktur, sistem, sumber
daya manusia, kepemimpinan, budaya kerja. Sementara itu, untuk kuesioner
manajemen risiko dibagi dalam sub kelompok yang berkaitan dengan risiko
likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, risiko hukum dan
risiko pemilik dan pengurus.
4. Earning
Salah satu parameter untuk mengukur
tingkat kesehatan suatu bank adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan.
Perlu diketahui bahwa apabila bank selalu mengalami kerugian dalam kegiatan
operasinya maka tentu saja lama kelamaan kerugian tersebut akan memakan
modalnya. Bank yang dalam kondisi demikian tentu saja tidak dapat dikatakan
sehat.
Penilaian didasarkan kepada
rentabilitas atau earning suatu bank yaitu melihat kemampuan suatu bank dalam
menciptakan laba. Penilaian dalam unsur ini didasarkan pada dua macam, yaitu :
Penilaian rasio earning 1 dapat
dilakukan sebagai berikut untuk rasio 0 % atau negatif diberi nilai kredit 0,
dan untuk setiap kenaikan 0,015% mulai dari 0% nilai kredit ditambah dengan
nilai maksimum 100.
2)
Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (Earning 2). Rumusnya
adalah :
Penilaian earning 2 dapat dilakukan
sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0 dan
setiap penurunan sebesar 0,08% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
5. Liquidity
Penilaian terhadap faktor likuiditas
dilakukan dengan menilai dua buah rasio, yaitu rasio Kewajiban Bersih Antar
Bank terhadap Modal Inti dan rasio Kredit terhadap Dana yang Diterima oleh
Bank. Yang dimaksud Kewajiban Bersih Antar Bank adalah selisih antara kewajiban
bank dengan tagihan kepada bank lain. Sementara itu yang termasuk Dana yang
Diterima adalah Kredit Likuiditas Bank Indonesia, Giro, Deposito, dan Tabungan
Masyarakat, Pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan
(tidak termasuk pinjaman subordinasi), Deposito dan Pinjaman dari bank lain
yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan, dan surat berharga yang diterbitkan
oleh bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan.
Liquidity yaitu rasio untuk menilai
likuiditas bank. Penilaian likuiditas bank didasarkan atas dua maca rasio,
yaitu :
1)
Rasio jumlah kewajiban bersih call money terhadap Aktiva Lancar. Rumusnya
adalah :
Penilaian likuiditas dapat dilakukan
sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0, dan
untuk setiap penurunan sebesar 1% mulai dari nilai kredit ditambah 1 dengan
maksimum 100.
2)
Rasio antara Kredit terhadap dana yang diterima oleh bank. Rumusnya adalah :
Penilaian likuiditas 2 dapat
dilakukan sebagai berikut untuk rasio 115 atau lebih diberi nilai kredit 0 dan
untuk setiap penurunan 1% mulai dari rasio 115% nilai kredit ditambah 4 dengan
nilai maksimum 100.
SISTEM INFORMASI AKUTANSI
Model sistem ATM yang paling sederhana adalah sistem
multiprosesor dimana sistem terdiri dari sejumlah proses yang dapat berjalan
tidak harus pada beberapa prosesor yang terpisah. Model ini umum pada sistem
real time yang besar. Sistemsitem ini mengumpulkan informasi, membuat keputusan
dengan menggunakan informasi ini, kemudian mengirim sinyal ke aktuator yang dimodifikasi
lingkungan sistem. Secara logika proses yang berhubungan dengan mengumpulkan informasi,
pengambilan keputusan dan control aktuator dapat berjalan pada suatu prosesor
dengan ditangani penjadual. Pengguna banyak prosesor berguna untuk memperbaiki
kinerja dan fleksibilitas sistem. Distribusi proses ke prosesor dapat
ditentukan sebelumnya. Pendekatan perancangan untuk
tipe sistem ini pada dasarnya adalah pendekatan yang dipakai untuk sistem real
time contoh sistem kontrol lalu lintas.
Alur Pelayanan
Penerapan
strategi pemasaran di dalam suatu perusahaan senantiasa selalu berubah sejalan
dengan perkembangan dan perubahan lingkungan industri yang ada. Perubahan
tersebut memaksa perusahaan untuk terus menyesuaikan diri dengan perkembangan
di lingkungan sekitarnya. Strategi diciptakan untuk dapat memenangkan
persaingan dengan menawarkan konsep yang jelas dari produk
serta
keunggulan khas yang ada di dalamnya. Perusahaan jasa pada saat ini lebih menekankan
pada konsep pemasaran yang melakukan pendekatan kepada konsumennya, perusahaan
memperhatikan bahwa betapa pentingnya kepuasan konsumen bagi kelangsungan
perusahaannya. Perusahaan memperhatikan unsure kepuasan konsumen tersebut
sebagai dasar untuk membangun loyalitas konsumen terhadap produk atau jasa yang
diciptakannya (Infobank, Januari 2008). Semakin ketatnya persaingan dalam
industri perbankan mendorong industri perbankan untuk cepat menyesuaikan diri
dengan perkembangan masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut ditandai dengan
semakin maraknya
ekspansi
dari bank-bank asing yang mencoba masuk ke pasar perbankan di Indonesia.
Industri perbankan saat ini berlomba-lomba untuk meningkatkan layanan kepada
nasabah, dengan cara memberikan fasilitas-fasilitas yang memudahkan nasabah
tersebut dalam melakukan transaksi keuangan (Infobank, April 2008). Salah satu
contoh adalah penerapan e-Banking atau
kemudahan
untuk
melakukan transaksi dengan tidak langsung datang ke bank, misalnya melalui sms banking yaitu transaksi dengan melalui fasilitas Short Message Service
(SMS) atau juga melakukan transaksi keuangan
melalui internet.