Gotong-royong sebuah definisi bangsa Indonesia yang selama ini menjadi monumen penting yang selalu diagung-agungkan bangsa Indonesia. Bahkan tetap dijadikan wacana utama dalam tiga periode politik bangsa ini. Sejarah kemerdekaan telah mencatat bahwa kata gotong-royong telah menjadi elemen penting dalam kehidupan bernegara Indonesia. Di zaman Orde Lama gotong-royong merupakan “kata suci�? yang selalu dikumandangkan oleh Sukarno, bahkan pernah dalam salah satu pidatonya, Sukarno menyatakan bahwa bila Pancasila diperas menjadi Ekasila, maka Ekasila itu adalah gotong-royong. Di zaman Orde Baru, walaupun tak segencar di zaman Orla, tetap saja gotong-royong menjadi salah satu kata penting di rezim pembangunan Suharto.
Berbagai kenyataan diungkapkan untuk mendukung pendapat bahwa gotong-royong adalah sifat dasar yang dimiliki bangsa Indonesia. Mulai dari sistem pertanian secara bersama, acara kenduri, mebangun rumah, dan segala macam kegiatan kemasyarakatan yang telah kita sama-sama baca dan pelajari sejak SD, semuanya menunjukkan bahwa gotong-royong sudah ada sejak zaman prasejarah di bumi Indonesia. Ya, memang sejak SD kita telah diberikan doktrin bahwa gotong-royong adalah sifat dasar bangsa Indonesia yang menjadi unggulan bangsa ini dan tidak dimiliki bangsa lain.
Namun saya melihat kenyataan lain, saya mulai meragukan gotong-royong ada di dalam jiwa bangsa Indonesia. Kenyataan yang muncul dengan adanya jurang kemiskinan yang dalam, pengangguran, kerusuhan, krisis ekonomi, semakin membuat saya ragu, apakah benar bangsa ini memiliki jiwa dan semangat gotong-royong. Jikalau gotong-royong diartikan sebagai kerjasama, bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan, maka saya akan sangat ragu bahwa bangsa ini memiliki jiwa gotong-royong. Kalaulah gotong-royong itu ada, pastilah tidak ada jurang kemiskinan yang dalam, karena si kaya akan senatiasa membantu si miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pastilah tidak ada kerusuhan masa, yang dipicu adanya ketidakadilan, karena setiap tetidakadilan akan mustahil muncul dari jiwa gotong-royong. Demikian pula dengan krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya.
Pendapat lain muncul. Jiwa gotong-royong sudah mulai terkikis akibat masuknya budaya individualisme dan materialisme dari Barat. Semula saya setuju dengan pandangan ini, namun belakangan saya mulai berpikir bahwa pedapat ini cuma sekedar apologi yang mencoba membenarkan pendapat pertama. Seandainya benar jiwa gotong-royong itu ada semenjak zaman dahulu, saya yakin tidak mungkin bangsa Indinesia dijajah sampai berabad-abad lamanya.
Saya yakin bila jiwa gotong-royong itu ada pada bangsa Indonesia maka pastilah bangsa ini tidak pernah mau hidup terjajah. Nyatanya selalu butuh seorang tokoh untuk menggerakkan perjuangan. Itupun biasanya harus dipicu dengan kejadian-kejadian yang bersifat ekonomis. Jarang sekali seorang raja yang mendapatkan “fasilitas�? dari penjajah mau “memberontak�?, walupun alam dan rakyatnya dikuras dan diperas habis-habisan. Biasanya raja yang memberontak dipicu oleh pengambilan hak-hak istimewanya oleh penjajah, atau “fasilitas�? penjajah yang kurang memenuhi hasratnya –namun sekali lagi rakyatlah yang jadi korban ambisi sang raja, rakyat berperang sampai merkubang darah, sementara raja kalau kalah paling cuma ditangkap dan dibuang.
Sementara rakyat pun demikian, walaupun saudaranya ditindas, kebanyakan mereka enggan membantu bila mereka sendiri telah mendapatkan “rasa aman�? dari penjajah. Buktinya kebanyakan “centeng�? dan mandor rodi, tanam paksa, dan sebagainya, adalah pribumi. Saya melihat bahwa kultur yang menonjol pada bangsa ini adalah kultur feodalisme. Dimana seorang penguasa akan dapat dengan bebas memenuhi hasrat ekonominya, sementara rakyat kecil secara kultural “nrimo�? saja dengan perlakuan penguasa. Kebanyak rakyat enggan memperjuangkan hak-haknya. Apalagi memperjuangkan hak saudaranya. Biarlah saja mereka menderita asal kita tidak, asal kita masih bisa makan, tidak apa-apa membayar upeti, kultur ini lah yang dominan dimiliki bangsa ini. Dimana pembelaan terhadap penindasan penguasa adalah sesuatu yang tabu.
Penguasa adalah “tuhan�? yang harus di dengar dan ditaati kata-kata dan perintahnya. Walau pun harus berdarah-darah perintah pengusa harus ditaati, karena ketaatan kita kan memberikan kredit kepada kita, siapa tahu nati bisa jadi menteri atau punggawa kerajaan. Atau setidaknya dapat sedikit bagian tanah dan jadi penguasa kecil –yang berarti pula kemudian dapat menindas bawahannya.
Gotong-royong yang dimiliki bangsa ini hanyalah gotong-royong yang bersifat aman dan menguntungkan bersama. Sementara gotong-royong yang “berdarah-darah�? untuk menolak penindasan adalah sesuatu yang tabu. Gotong-royong yang dimiliki bangsa ini adalah gotong-royong yang harus mempunyai feed back, mari kita bersama bergotong-royong mengadakan kenduri, agar kelak saat kita punya hajat maka orang lain pun akan membantu kita. Mari kita bergotong-royong membuat pengairan sawah, agar sawah kita pun dapat diairi. Mari kita bergotong-royong membangun balai desa, agar nanti kita juga dapat nonton teve di sana.
Buat apa kita bersama-sama mengentaskan orang-orang miskin, nanti mereka malah menjadi saingan dagang kita. Buat apa kita sibuk-sibuk mengurusi orang lain yang tanahnya diambil paksa oleh penguasa, yang penting kita selamat, kalau ikut-ikutan nanti malah kena getahnya. Buat apa ikut-ikutan memprotes kebijakan sekolah, nanti malah dicap anak nakal dan dapat nilai jelek. Buat apa ikut-ikutan demo, nanti malah dipentung polisi dan ditahan, toh demo juga tidak selalu didengar, lagipula kebijakan yang diprotes itu kan tidak ada sangkut-pautnya dengan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar