Selasa, 26 April 2011

pertahanan indonesia

Sejarah Pertahanan Indonesia

Sejarah pertahanan keamanan Indonesia yang bermula pada tahun 1945, telah memberikan pengalaman yang berharga dan nilai-nilai perjuangan yang penting dihimpun dan disusun dalam suatu konsepsi pertahanan keamanan yang tangguh dan ampuh, bagi upaya dan penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara berdasarkan falsafah bangsa dan idiologi serta dasar Negara Pancasila dan Undang Undang Dasar RI 1945 (UUD 1945).

Pada bulan September – Oktober 1945 berdasarkan Civil Affairs Agreement Tentara Pendudukan Sekutu (Satuan Tentara Inggris) yang tergabung dalam Komando SEAC yang bertugas melucuti bala tentera Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (RAPWI), berturut-turut mendarat di Medan, Padang, Jakarta, Semarang, Surabaya dengan melanjutkan gerakannya ke Bogor, Bandung, Ambarawa dan Magelang. Satuan tentara Australia mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah pada pihak sekutu dan Pulau Morotai telah diduduki oleh satuan tentara Amerika Serikat di bawah komando Jenderal Douglas MacArthur, Panglima SWPAC (South West Pacific Area Command)[1]
Namun kenyataannya, tentara pendudukan ini menyelundupkan unsur-unsur alat pemerintah penjajah Belanda yang disebut The Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang mengakibatkan berbagai insiden dan provokasi sehingga membangkitkan perlawanan patriotik dan heroik bangsa Indonesia sebagaimana terbukti dalam berbagai peristiwa.
Dalam pertempuran pertama di Surabaya pada tanggal 30 Oktober 1945, Tentara Pendudukan Inggris telah menderita kerugian dengan gugurnya seorang Komandan Brigade Istimewa ke-49, Brigadir Mallaby. Peristiwa ini mengakibatkan pecahnya pertempuran besar di Surabaya yang dikenal dengan peristiwa 10 November yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Gerakan maju Tentara Inggeris ke Ambarawa dan Magelang pada tanggal 14 Desember 1945 akhirnya dapat dipukul mundur yang dalam peristiwa sejarah dikenal sebagai Palagan Ambarawa. Pada akhir September 1946, tentara Belanda mengambil alih posisi dan wilayah pendudukan dari tentara sekutu (Inggris) sesudah mendatangkan bala bantuan dari negeri Belanda yang dikenal dengan “Divisi 7 Desember”. Hingga bulan Oktober 1946, Belanda telah dapat menghimpun kekuatan militernya sebanyak 3 divisi di Jawa dan 3 Brigade di Sumatera. Tentera Inggris menyerahkan secara resmi tugas pendudukannya kepada Tentara Belanda pada tanggal 30 November 1946. Dari segi perimbangan kekuatan militer pada masa itu, pihak Belanda telah merasa cukup kuat untuk menegakkan kembali kekuasaan dan kedaulatannya di Indonesia, dengan memaksakan keinginannya terhadap rakyat dan pemerintah Republik Indonesia.
Perundingan antara pihak Belanda dan Indonesia yang diselenggarakan di Linggarjati, Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 12 November 1946 sebagai usaha saling memahami oleh kedua belah pihak, namun karena sikap pendirian masing-masing yang tidak dapat dipertemukan, usaha tersebut menemui kegagalan.

[sunting] Perang Kemerdekaan II

Pada tanggal 21 Juli 1947 pukul 05.00 WIB, Belanda melancarkan operasi militernya yang dinamakan aksi polisionil, sedangkan bagi bangsa Indonesia peristiwa tersebut dikenal sebagai Perang Kemerdekaan I.
Tujuan utama operasi militer Belanda adalah untuk menguasai wilayah yang sebelumnya pada Perang Dunia II merupakan penghasil devisa bagi pemerintah Hindia Belanda seperti perkebunan di Jawa dan Sumatera. Tujuan kedua ialah untuk menguasai kota-kota sebagai pusat administrasi dan pemerintahan, serta kota-kota pelabuhan penting di Jawa dan Sumatera dalam usaha memblokade dan memutuskan hubungan Indonesia dengan dunia luar. Kota-kota pelabuhan di Jawa, di antaranya Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Cilacap, serta kota pelabuhan di Sumatera ialah Belawan di Medan dan Padang.
Serangan terobosan oleh pihak Belanda yang dilancarkan dengan cepat serta dikoordinasikan dengan serangan udara, pasukan Indonesia harus menghindar dari kehancuran total, hal itu dilaksanakan dengan mengundurkan diri ke pedalaman sambil memusnahkan obyek-obyek vital, seperti fasilitas dan instansi perkebunan, sarana dan prasarana perhubungan dan lain sebagainya.
Kemerosotan moral dari pasukan Indonesia sebagai akibat serangan Belanda yang dilancarkan secara mendadak dan cepat, secara berangsur-angsur dapat dipulihkan pada waktu mereka bergabung kembali pada induk pasukan masing-masing, serta dapat mengkonsolidasikan kekuatan pasukan di daerah pedalaman, sehingga membentuk kantung-kantung perlawanan di daerah pendudukan Belanda.
Tempat pemusatan pasukan di daerah pendudukan Belanda selain merupakan basis perlawanan gerilya terhadap Belanda, juga berfungsi sebagai tempat aparat pemerintahan darurat Republik Indonesia.
Terbentuknya kantung-kantung sebagai basis perlawanan gerilya serta merupakan aparat atau unsur pemerintahan darurat Republik Indonesia di daerah pendudukan Belanda, dimungkinkan karena adanya kebulatan tekad dan hasrat rakyat dan bangsa Indonesia untuk tidak menerima kembalinya kekuasaan dan kedaulatan pemerintah Belanda di bumi Indonesia. Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk perlawanan bersenjata tanpa mengenal menyerah.
Dengan dilancarkannya peperangan gerilya yang didukung oleh segenap kekuatan rakyat (semesta), pasukan Indonesia dapat beralih mengambil inisiatif dari taktik defensif ke taktik ofensif. Pengembangan ini dimungkinkan kerana rakyat mau menerima kehadiran para putera pejuang di tengah-tengah mereka, bahkan secara bahu-membahu ikut berjuang dengan melancarkan serangan dan gangguan terhadap kedudukan tentera Belanda.
Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Jendral Abdul Haris Nasution, yang pada masa itu menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi, yang antara lain berbunyi: …..Pihak Belanda dengan kekuatan militer yang dimilikinya mungkin dapat menduduki kota-kota dan wilayah lainnya, namun demikian ia tak akan mampu menguasai seluruh wilayah kerana akan menghadapi perlawanan sengit dari rakyat Indonesia. Dengan aksi perlawanan tersebut posisi Indonesia menjadi pulih kekuatannya, sedangkan militer Belanda menjadi semakin lemah untuk dapat menguasai dan menduduki tempat-tempat yang strategis secara terus menerus. Pihak Indonesia secara berangsur-angsur dapat melancarkan serangan-serangan gerilya, sedangkan pihak musuh terikat pada pengawalan pos-pos yang statis defensif.
Pada masa itu, pasukan-pasukan Indonesia sudah mampu mendekati kota-kota dan mengancam kedudukan Belanda di mana-mana. Daerah-daerah pengaruh gerilya semakin meluas. Belanda benar-benar kehilangan akal, aparatur pemerintahannya tidak dapat berjalan, tentaranya terpaku di tempat-tempat kedudukannya. Belanda gagal melaksanakan rencananya semula, untuk menguasai daerah-daerah Jawa Timur, Jawa Barat, dan pantai utara Jawa Tengah, untuk selanjutnya meniadakan sisa daerah atau wilayah kekuasaan Republik Indonesia dalam rangka menguasai kembali seluruh wilayah Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar